
Labuan Kungguma, 2 Oktober 2025 – Mahasiswa Program Studi Antropologi bersama dosen pengampu mata kuliah Antropologi Agama menggelar observasi lapangan di Desa Labuan Kungguma, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala. Kegiatan ini berfokus pada pengamatan ritual Babalia Topeule, terutama tahap awal yang disebut Mopakande.
Dalam bahasa Kaili, Mopakande berarti “memberi makan.” Ritual ini dilakukan dengan membawa sajian ke Suampela—tempat sesajian yang diperuntukkan bagi roh leluhur. Sajian itu menjadi simbol penghormatan kepada Roh-Roh leluhur sekaligus permohonan perlindungan agar kampung terhindar dari marabahaya.
Pada Ritual Mopakande, para sando berkumpul dan mempersiapkan sesajian, terdiri dari beras pulut yang diwarnai sebanyak 4 warna, air kelapa muda, uang koin dan uang kertas, telur, serta Sambulu. Telur sebagai simbol yang dimaknai sebagai dunia, sementara beras pulut dengan 4 (empat) warna disimbolkan sebagai makna jumlah gerakan shalat (berdiri, ruku, sujud, duduk), serta jumlah rakaat pada shalat. Disamping itu, juga dimaknai sebagai 4 (empat) elemen kehidupan yaitu air, api, udara dan tanah. Sedangkan, uang dimaknai sebagai kesejahteraan, air kelapa muda dimaknai sebagai air suci, untuk para leluhur meminumnya. Sesajian ini ditata diatas baki yang dilapisi daun pisang sebanyak lima baki.
Foto 1. Para sando sedang mempersiapkan sesajian
Foto 2. Sando mengoleskan minyak adat ke beberapa titik tubuh sando lainnya
Sebelum memulai, para sando mengoleskan minyak adat ke beberapa titik tubuh baru kemudian dilakukan novaya (memanggil roh kedalam tubuh para sando) dengan syair-syair. Setelah itu kemudian sesajian diantarkan ke Suampela. Suampela adalah tempat diletakkan sesajian. Suampela ditempatkan di lima titik sesuai arah mata angin, yakni empat di sudut kampung dan satu di bagian tengah. Setelah itu dilaksanakan prosesi Mo’gane (mengundang) sebagai medium dialog antara sando (pemimpin ritual) dengan roh leluhur.
Foto 3. Wawancara bersama Pak Asrun (salah satu Panitia Ritual Babalia Topeule)
“Di situ diundang semua, disebut nama-nama roh leluhur. Sajian itu dimaksudkan untuk mengundang yang gaib datang ke hari puncak ritual Babalia,” jelas Azrun, panitia ritual.
Peserta Babalia kali ini tidak hanya berasal dari Desa Labuan Kungguma, tetapi juga dari wilayah lain di Sulawesi Tengah, antara lain Kayumalue, Desa Sigenti (Parigi Moutong), Labuan, dan desa-desa sekitar. Pelaksanaan ritual juga ditopang gotong royong masyarakat dalam bentuk sumbangan dana, tenaga, bahan pokok, hingga perlengkapan.
Selain menjadi ruang pembelajaran akademik, mahasiswa diajak untuk hadir mengikuti prosesi akhir Babalia. Masyarakat berharap keterlibatan generasi muda dapat menjadi sarana pewarisan budaya sekaligus menambah wawasan tentang hubungan antara budaya dan agama dalam perspektif antropologi